Prolog
Menunggu lama di Museum Pendidikan Indonesia
untuk kuliah Museologi. Akhirnya kawan-kawan bikin keributan alias di ruangan
Museum. Begitu ribut-ribut terdengar nyata dan terbendung lagi, barulah datang
dosen pengampu dan bilang “Kalian salah ruang. Kuliahnya di lantai 2 ruang
sidang, bukan disini.”
Jelaslah sudah ternyata kami menunggu durian
runtuh. Begitu ada suara ribut banget baru deh runtuh itu durian.
Oke di dalam ruang sidang mulailah pertanyaan
macam-macam tentang museologi dan pertanyaan yang masih saya ingat adalah ketika
dosen bertanya “Siapa yang niatnya mengejar lulus dalam mata kuliah ini? Jujur
saja”
Tanpa ragu-ragu, penuh keyakinan dan keimanan
disertai kepolosan saya pun angkat tangan. “Kamu saya kasih nilai D mau?” Tanya
dosen tersebut. Kampret.
Oke berhubung memang tidak ada lagi materi
untuk kuliah museologi kami pun usul membuat pameran/museum kecil-kecilan. Museumnya
diberi nama Museum Permainan dan Seni Anak.
Permainan dan seni anak? Ya tentu saja ini
berkisahkan tentang permainan dan mainan anak-anak. Plestesen termasuk? Enggak karena
harusnya plestesen itu untuk ukuran remaja ke atas.
Pengumpulan mainan dari kawan-kawan kelas pun
dilaksanakan. Hasilnya cukup banyak. Cukup banyak yang rusak maksud saya.
Berhubung masih kurang banyak, maka kami pun segera melakukan perburuan mainan.
17 Mei 2014
Kumpul jam 8 di Museum Pendidikan Indonesia
untuk berburu mainan tradisional di Kampung Dolanan daerah Sewon mBantul. Yang ikut
dalam ekspedisi ini adalah mbak Rara, mas Rahmat, Cicil, Cinta, Desti, Fakhrudin,
Arif, dan tentu saja Rivan si Tampan.
Allright. Berhubung ada yang punya mobil,
kamipun berangkat naik mobil. Mobil sport 2 pintu bro.
Kalo pake gituan sekalinya ngepot bisa terbang semua penumpang di belakang. Suara Ninja blombongan pun bisa kalah sama mobil ini jika di geber. tronk.. tonk.. tonk.. tonk.. tooooonkkk.. mak pffft.. Macet. Oke turun. Ayo dorong.
Ahaha. Bercanda. Mobilnya avanza kok. Mana mau
saya naek trontong duduk di belakang pake helm. Belum lagi kalo ujan kudu pake
mantol segala. Ha mending naek motor sekalian.
Oke setelah berkumpul semua, ekspedisi pun
dimulai. Dengan suntikan makanan yang ada di mobil, semangat saya jadi membara.
Perjalannya kurang fast and furious. Saya pikir dengan mesin 4 silinder terus
bisa kenceng banget dan ngepot-ngepot kayak di film-film. Ternyata all on all
on what on clark on.
Oke. Setelah putar-putar (baca : kesasar),
akhirnya kami menemukan Kampung Dolanan yang memang lokasinya agak ndelik dari
jalan utama. Kesan yang pertama kali melintas di benak saya adalah.... kok
biasa? Mana mainan-mainannya? Kenapa cuma ada anak-anak TK disini?
Akhirnya setelah diberitahu arah letak
pengrajin dolanan, kamipun kesana. Ternyata pengrajinnya ada sekitar 7 orang
dan kesemuanya sepertinya sudah tua di liat dari namanya yang masih banyak
menggunakan huruf “O”. Lho kok tau nama-namanya? Yaiyalah wong ada papan
petunjuknya kok.
Dimanapun tempatnya, bagaimanapun situasinya,
apapun keadaannya sempatkanlah foto-foto walau hanya dapat 10an foto.
Sampai di rumah salah satu pengrajin mainan,
kamipun membeli sejumlah mainan tradisional yang simbah bikin. Jujur aja pas
disini dan liat mainan karya simbah tu pikiran saya melayang-layang diwaktu
saya masih unyu-unyu, umbelen, dan polos. Masa kecil yang menyenangkan sekali
tanpa ada beban.
Sambil simbah berkarya, kawan-kawan yang lain
bernostalgia dengan mainan-mainan yang pernah mengisi hari-hari mereka saat
kecil.
Puas bernostalgia, kamipun pamit pulang
dengan membawa mainan seabrek.
Dadah Kampung Dolanan. Lestarikan selalu
mainan tradisional kita.
Bersambung....
Rv