Saturday, June 7, 2014

Museum Permainan dan Seni Anak I

Prolog

Menunggu lama di Museum Pendidikan Indonesia untuk kuliah Museologi. Akhirnya kawan-kawan bikin keributan alias di ruangan Museum. Begitu ribut-ribut terdengar nyata dan terbendung lagi, barulah datang dosen pengampu dan bilang “Kalian salah ruang. Kuliahnya di lantai 2 ruang sidang, bukan disini.”

Jelaslah sudah ternyata kami menunggu durian runtuh. Begitu ada suara ribut banget baru deh runtuh itu durian.

Oke di dalam ruang sidang mulailah pertanyaan macam-macam tentang museologi dan pertanyaan yang masih saya ingat adalah ketika dosen bertanya “Siapa yang niatnya mengejar lulus dalam mata kuliah ini? Jujur saja”

Tanpa ragu-ragu, penuh keyakinan dan keimanan disertai kepolosan saya pun angkat tangan. “Kamu saya kasih nilai D mau?” Tanya dosen tersebut. Kampret.

Oke berhubung memang tidak ada lagi materi untuk kuliah museologi kami pun usul membuat pameran/museum kecil-kecilan. Museumnya diberi nama Museum Permainan dan Seni Anak.

Permainan dan seni anak? Ya tentu saja ini berkisahkan tentang permainan dan mainan anak-anak. Plestesen termasuk? Enggak karena harusnya plestesen itu untuk ukuran remaja ke atas.

Pengumpulan mainan dari kawan-kawan kelas pun dilaksanakan. Hasilnya cukup banyak. Cukup banyak yang rusak maksud saya. Berhubung masih kurang banyak, maka kami pun segera melakukan perburuan mainan.

17 Mei 2014
Kumpul jam 8 di Museum Pendidikan Indonesia untuk berburu mainan tradisional di Kampung Dolanan daerah Sewon mBantul. Yang ikut dalam ekspedisi ini adalah mbak Rara, mas Rahmat, Cicil, Cinta, Desti, Fakhrudin, Arif, dan tentu saja Rivan si Tampan.
Allright. Berhubung ada yang punya mobil, kamipun berangkat naik mobil. Mobil sport 2 pintu bro.

Kalo pake gituan sekalinya ngepot bisa terbang semua penumpang di belakang. Suara Ninja blombongan pun  bisa kalah sama mobil ini jika di geber. tronk.. tonk.. tonk.. tonk.. tooooonkkk.. mak pffft.. Macet. Oke turun. Ayo dorong.

Ahaha. Bercanda. Mobilnya avanza kok. Mana mau saya naek trontong duduk di belakang pake helm. Belum lagi kalo ujan kudu pake mantol segala. Ha mending naek motor sekalian.

Oke setelah berkumpul semua, ekspedisi pun dimulai. Dengan suntikan makanan yang ada di mobil, semangat saya jadi membara. Perjalannya kurang fast and furious. Saya pikir dengan mesin 4 silinder terus bisa kenceng banget dan ngepot-ngepot kayak di film-film. Ternyata all on all on what on clark on.

Oke. Setelah putar-putar (baca : kesasar), akhirnya kami menemukan Kampung Dolanan yang memang lokasinya agak ndelik dari jalan utama. Kesan yang pertama kali melintas di benak saya adalah.... kok biasa? Mana mainan-mainannya? Kenapa cuma ada anak-anak TK disini?

Akhirnya setelah diberitahu arah letak pengrajin dolanan, kamipun kesana. Ternyata pengrajinnya ada sekitar 7 orang dan kesemuanya sepertinya sudah tua di liat dari namanya yang masih banyak menggunakan huruf “O”. Lho kok tau nama-namanya? Yaiyalah wong ada papan petunjuknya kok.

Dimanapun tempatnya, bagaimanapun situasinya, apapun keadaannya sempatkanlah foto-foto walau hanya dapat 10an foto.


Sampai di rumah salah satu pengrajin mainan, kamipun membeli sejumlah mainan tradisional yang simbah bikin. Jujur aja pas disini dan liat mainan karya simbah tu pikiran saya melayang-layang diwaktu saya masih unyu-unyu, umbelen, dan polos. Masa kecil yang menyenangkan sekali tanpa ada beban.



Sambil simbah berkarya, kawan-kawan yang lain bernostalgia dengan mainan-mainan yang pernah mengisi hari-hari mereka saat kecil.

Puas bernostalgia, kamipun pamit pulang dengan membawa mainan seabrek.

Dadah Kampung Dolanan. Lestarikan selalu mainan tradisional kita.
Bersambung....



Rv